Ujian Nasional Berbasis Komputer (UNBK) Tahun 2018
Mendikbud Targetkan Seluruh Siswa SMA dan SMK Ikut UNBK Tahun 2018
Ujian Nasional Berbasis Komputer (UNBK) adalah sistem baru yang telah
diuji coba lewat instruksi pemerintah sejak dua tahun belakangan. Tahun
depan, Menteri Pendidikan dan Kebudayaan (Mendikbud) Prof Muhadjir
Effendi menargetkan seluruh siswa SMA dan SMK di Indonesia akan memakai
sistem tersebut.
"Untuk jenjang SMA, SMK dan sederajat seluruhnya harus sudah siap dengan penerapan UNBK. Sedangkan untuk jenjang SMP, MTs dan sederajat ditargetkan 80 persen sudah menerapkan UNBK," kata Muhadjir di Universitas Muhammadiyah Malang, Jawa Timur, Sabtu (11/11/2017) kepada Antara.
Tahun ini, lanjutnya, pelaksanaan UNBK untuk jenjang SMA, SMK dan sederajat baru mencapai 80 persen dan untuk jenjang SMP baru 40 persen. Jika masih ada SMA/SMK yang belum mampu menerapkan UNBK karena keterbatasan jumlah komputer, maka sekolah dibantu pemerintah daerah setempat harus mengupayakan.
"Untuk memenuhi kebutuhan komputer alam penyelenggaraan UNBK tahun depan secara maksimal, sekolah harus beli dengan dibantu oleh pemerintah daerah setempat. Penerapan UNBK memang dilakukan secara bertahap. Tahun depan jenjang SMA/SMK sudah 100 persen dan SMP minimal 80 persen," ujarnya.
Menyinggung keputusan Mahkamah Konstitusi (MK) terkait aliran kepercayaan yang diakui sebagai salah satu agama di Tanah Air, mantan Rektor UMM itu mengusulkan agar urusan aliran kepercayaan nantinya menjadi urusan Kementerian Agama (Kemenag).
Selama ini, katanya, aliran kepercayaan masih diposisikan sebagai bagian dari budaya bukan agama, sehingga berada di bawah naungan dan tanggung jawab Kemendikbud. "Kalau nanti aliran kepercayaan menjadi bagian dari agama, saya sarankan menjadi tanggung jawab Kementrian Agama," ucapnya.
Sedangkan Kemendikbud, lanjutnya, hanya akan mengurus pada persoalan pendidikannya, dalam hal ini pelajaran yang akan diberikan di sekolah-sekolah. Dengan diakuinya sebagai agama, otomatis akan masuk kurikulum dan menjadi mata pelajaran bagi penganut yang bersangkutan seperti pelajaran agama lainnya.
Nanti, kata Muhadjir, harus ada pelajaran di sekolah. "Apalagi kalau peserta didiknya memenuhi ketentuan, kita harus menyediakan jam pelajaran agama untuk mereka seperti pelajaran agama lainnya," katanya.
Mahkamah Konstitusi (MK) sebelumnya berpendapat kata agama dalam pasal 61 ayat 1 dan pasal 64 ayat 1 pada Undang-undang Nomor 23 Tahun 2006 tentang Administrasi Kependudukan bertentangan dengan UUD 1945. Sehingga penganut aliran kepercayaan memiliki kedudukan hukum sama dengan pemeluk agama yang diakui di Indonesia.
"Untuk jenjang SMA, SMK dan sederajat seluruhnya harus sudah siap dengan penerapan UNBK. Sedangkan untuk jenjang SMP, MTs dan sederajat ditargetkan 80 persen sudah menerapkan UNBK," kata Muhadjir di Universitas Muhammadiyah Malang, Jawa Timur, Sabtu (11/11/2017) kepada Antara.
Tahun ini, lanjutnya, pelaksanaan UNBK untuk jenjang SMA, SMK dan sederajat baru mencapai 80 persen dan untuk jenjang SMP baru 40 persen. Jika masih ada SMA/SMK yang belum mampu menerapkan UNBK karena keterbatasan jumlah komputer, maka sekolah dibantu pemerintah daerah setempat harus mengupayakan.
"Untuk memenuhi kebutuhan komputer alam penyelenggaraan UNBK tahun depan secara maksimal, sekolah harus beli dengan dibantu oleh pemerintah daerah setempat. Penerapan UNBK memang dilakukan secara bertahap. Tahun depan jenjang SMA/SMK sudah 100 persen dan SMP minimal 80 persen," ujarnya.
Menyinggung keputusan Mahkamah Konstitusi (MK) terkait aliran kepercayaan yang diakui sebagai salah satu agama di Tanah Air, mantan Rektor UMM itu mengusulkan agar urusan aliran kepercayaan nantinya menjadi urusan Kementerian Agama (Kemenag).
Selama ini, katanya, aliran kepercayaan masih diposisikan sebagai bagian dari budaya bukan agama, sehingga berada di bawah naungan dan tanggung jawab Kemendikbud. "Kalau nanti aliran kepercayaan menjadi bagian dari agama, saya sarankan menjadi tanggung jawab Kementrian Agama," ucapnya.
Sedangkan Kemendikbud, lanjutnya, hanya akan mengurus pada persoalan pendidikannya, dalam hal ini pelajaran yang akan diberikan di sekolah-sekolah. Dengan diakuinya sebagai agama, otomatis akan masuk kurikulum dan menjadi mata pelajaran bagi penganut yang bersangkutan seperti pelajaran agama lainnya.
Nanti, kata Muhadjir, harus ada pelajaran di sekolah. "Apalagi kalau peserta didiknya memenuhi ketentuan, kita harus menyediakan jam pelajaran agama untuk mereka seperti pelajaran agama lainnya," katanya.
Mahkamah Konstitusi (MK) sebelumnya berpendapat kata agama dalam pasal 61 ayat 1 dan pasal 64 ayat 1 pada Undang-undang Nomor 23 Tahun 2006 tentang Administrasi Kependudukan bertentangan dengan UUD 1945. Sehingga penganut aliran kepercayaan memiliki kedudukan hukum sama dengan pemeluk agama yang diakui di Indonesia.